Selasa, 09 November 2010

RIWAYAT STASIUN RADIO MALABAR

Posted by Jurnal Bandung on 10.35 0 komentar



PEMANCAR stasiun Radio Malabar didirikan oleh dr de Groot pada Mei 1923 di zaman Hindia Belanda. Konon, stasiun ini memiliki antena yang digunakan untuk memancarkan sinyal radio memiliki panjang 2 kilometer, membentang di antara gunung Malabar dan Halimun dengan ketinggian dari dasar lembah mencapai 500 meter. Antena pemancar itu digunakan sebagai komunikasi langsung dengan pihak Belanda yang berjarak sekitar 12 ribu kilometer. Letaknya yang dikelilingi pohon pinus dan berada sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut membuat bangunan itu menjadi tempat yang strategis untuk melakukan komunikasi pada zamannya.
Di antara puing-puing bangunan itu ada beberapa nama yang dahulunya bertugas menjalankan pemancar tersebut. Seperti Mr Han Moo Key, Mr Nelan, Mr Vallaken, Mr Bickman, Mr Hodskey, Ir Ong Keh Kong, serta masyarakat setempat. Kata "halo Bandung" yang dijadikan lirik lagu oleh Ismail Marzuki juga berawal dari siaran stasiun Radio Malabar ini.
Kawasan Radio Malabar ini ditemukan seorang penduduk, Utay Muchtar, setelah bertahun-tahun tidak ada yang mengetahuinya. Saat ditemukan, bangunan stasiun radio itu tinggal puing-puing. Diperkirakan akibat serangan yang dilakukan Jepang, untuk merebut kekuasaan Belanda.
                                  
                                          
Kawasan Bandung Selatan ternyata benar-benar menjadi surga bagi para wisatawan. Bukan hanya keindahan alam dan geografinya yang menjadi daya pikat, sejarah yang tersimpan di sana pun ternyata menjadi sesuatu yang dicari.
Ya, Bandung Selatan ternyata banyak menyimpan sejarah. Dari daerah Bandung Selatan ini tonggak sejarah bangsa Indonesia banyak dilahirkan. Namun hal ini tidak disadari banyak oleh masyarakat. Bukan itu saja, pemerintah pun berlaku seperti itu, Bandung Selatan hanya dijadikan bagian dari sejarah.
Perlu diketahui, dari daerah Bandung Selatan inilah sejarah teknologi radio atau radio gelombang pendek lahir dan menghubungkan dua negara dari dua benua. Dulu, di Bandung Selatan khususnya di Gunung Puntang Kec. Banjaran, pernah berdiri Stasiun Malabar yang sempat terkenal di masa penjajahan kolonial Belanda dan Jepang. Gunung Puntang yang masuk kawasan kaki Gunung Malabar ini, memang menawarkan sejuta keindahan bagi pengunjung.
Tidak hanya menawarkan wisata alam yang menyejukkan hati, di kawasan ini juga terdapat objek wisata sejarah peninggalan bangsa Belanda yang cukup unik. Sayang kondisinya kini sudah tidak utuh lagi dan hanya tinggal reruntuhannya. Pada 1923, area ini merupakan lokasi yang sangat terkenal di dunia karena terdapat stasiun pemancar radio Malabar yang dirintis Dr. de Groot. Sebuah pemancar radio yang sangat fenomenal karena antena yang digunakan memiliki panjang 2 km, membentang di antara gunung Malabar dan Halimun, dengan ketinggian dari dasar lembah mencapai 500 meter. Sulit untuk dibayangkan, bagaimana mereka membangunnya dengan teknologi yang ada pada masa tersebut.
Pada bagian dasar lembah, dulu terdapat bangunan yang cukup besar yang berfungsi sebagai stasiun pemancar guna mendukung komunikasi ke negeri Belanda yang berjarak 12.000 km dari Indonesia. Uniknya, bagaimana bangsa Belanda bisa mendapatkan lokasi yang sangat ideal, karena arah struktur antena tersebut memang menuju negara Kincir Angin tersebut. Terlebih tempat ini cukup tersembunyi, sehingga jauh dari jangkauan Jepang dan rakyat Indonesia, yang kala itu sangat membenci Belanda.


Boros energi                                           
Stasiun ini murni pemancar, sedangkan penerimanya ada di Padalarang (15 km) dan Rancaekek (18 km). Untuk listriknya, Belanda kemudian membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di daerah utara Kota Bandung (Dago), PLTU di Dayeuhkolot, dan PLTA di Pangalengan, lengkap dengan jaringan distribusinya, hanya untuk memenuhi kebutuhan pemancar radio tersebut.
Pasalnya, teknologi yang digunakan untuk memancarkan sinyal radio itu masih menggunakan teknologi yang boros energi (tenaga listrik). Pemancar ini antara lain masih menggunakan teknologi kuno, yaitu busur listrik (poulsen) untuk membangkitkan ribuan kilowatt gelombang radio dengan panjang gelombang 20 – 7,5 km.
Konon menurut catatan sejarah kuncen Bandung, Haryoto Kunto, gedung pemancar ini bentuknya sangat cantik di masa itu. Sayangnya, saat ini hanya tersisa beberapa potong tembok saja, karena struktur bangunannya yang terbuat dari separuh kayu dan separuh tembok. Selain sepotong sisa bangunan tadi, ada juga sisa struktur dinding kolam yang saat ini dikenal dengan nama Kolam Cinta, karena memang bentuknya mirip hati. Ada kepercayaan di masyarakat setempat, jika sejoli berpacaran di lokasi ini akan membawa dampak bagi kelangsungan hubungan mereka. Yaitu jika mereka mau mencuci muka atau mandi di kolan cinta tersebut. Kalau mau mendaki ke atas, sisa-sisa antena juga masih bisa dilihat di lereng gunung.
Selain bangunan utama berupa stasiun radio pemancar, pada area Gunung Puntang ini juga terdapat perkampungan yang dihuni awak stasiun pemancar, dengan fasilitas cukup lengkap. Dulunya, perkampungan yang dikenal dengan nama Kampung Radio (Radio Dorf) oleh masyarakat ini, juga dilengkapi dengan rumah-rumah dinas petugas, lapangan tenis, bahkan gedung bioskop juga konon tersedia di masa tersebut.
Adapun para pejabat yang menempati rumah dinas saat itu, di antaranya Han Moo Key, Nelan, Vallaken, Bickman, Hodskey, Ir. Ong Keh Kong, dan tiga orang putra bangsa, yaitu Djukanda, Sudjono, dan Sopandi. Seluruh fasilitas tersebut diperuntukkan bagi orang-orang Belanda yang memang tinggal di perkampungan radio tersebut. Lokasi jelasnya perkampungan radio ini, yakni berada di area bumi perkemahan Gunung Puntang (sekarang) Kec. Banjaran, Kab. Bandung dengan koordinat global positioning system (GPS) S007.111433 – E107. 602583 dengan ketinggian dari permukaan laut 1.290 meter.
Selain stasiun pemancar radio, di kawasan ini ditemukan pula sebuah gua peninggalan Belanda. Gua ini bisa ditelusuri dengan mudah, meskipun cenderung becek pada bagian dalamnya. Mulut gua ini cukup tersembunyi, di antara lekukan tanah yang bila diperhatikan secara sekilas mirip wajah harimau.
Menurut cerita masyarakat setempat, lorong gua ini akan menuju sebuah curug (air terjun, red) yang dikenal dengan sebutan Curug Siliwangi. Lorong gua tersebut kurang lebih panjangnya 1 km. Dan siapa pun yang berhasil menyusuri lorong gua sampai Curug Siliwangi, konon akan mendapatkan sesuatu yang merupakan peninggalan Prabu Siliwangi. Namun sampai kini, belum ada bukti dari cerita tersebut.
           

(T-2/Ismet Humaedi/Berbagai sumber)
                                     


Berita Terkait Lainnya

0 Responses so far:

Leave a Reply